Kamis, 25 Juli 2013

Sejarah Dalem Sidakarya

Topeng Sidakarya
Di suatu desa / daerah yang bernama Keling ada pendeta yang sangat termahsyur tentang kebenaran utama yang mempunyai “Ilmu Kelepasan Jiwa”. Disebut Brahmana Keling karena beliau berasal dari Daerah Keling, Jawa Timur. Beliau juga mendirikan pesraman / pertapaan di lereng Gunung Bromo. Brahmana Keling adalah putra dari Danghyang Kayumanis, cucu dari Empu Candra, kumpi dari Mpu Bahula dan cicit dari Empu Beradah. Tetapi sampai saat ini belum ada yang tahu nama beliau yang sebenarnya, karena beliau berasal dari Keling maka beliau disebut “Brahmana Keling”.


Dalam Perjalanan beliau dari tanah Jawa ke Bali sampailah beliau di suatu Desa pesisir pantai yaitu Desa Muncar. Di sini beliau sejenak beristirahat sambil menikmati keindahan panorama selat Bali, yang menambat hati beliau akan keindahan alam laut dan pegunungan Pulau Bali. Tak dinyana sebelumnya di hadapan beliau tiba-tiba muncul ayahnya (Dang Hyang Kayumanis). Sang Ayah bercerita panjang tentang keberadaannya di Nusa Bali, bahwa di Bali sekarang ini di Kerajaan Gelgel yang menjadi Raja adalah Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha yang mendampingi Dalem Waturenggong sebagai penasehat dalam bidang keagamaan (kerohanian) yang akan melaksanakan Upacara (Karya Eka Dasa Rudra di Pura Besakih).

Mendengar Sang Ayah bercerita demikian, lalu pertemuan Dang Hyang Kayumanis dengan anaknya Brahmana Keling di Desa Muncar sudah selesai sekaligus merupakan pertemuan yang terakhir. Sang Ayah melanjutkan perjalanan menuju ke Pesraman di Jawa Timur (Daerah Keling) sedangkan Brahmana Keling selanjutnya menuju pulau Bali menuju di Keraton Gelgel.

Tentang perjalanan Brahmana Keling menuju Bali lanjut ke Keraton Gelgel tidaklah ada yang tahu apakah beliau menggunakan apa ? Jejak-jejak perjalanan beliau dimana ? Kemana ? dan sebagainya. Singkat cerita sampailah di Keraton Gelgel, namun sayang sesampainya Brahmana Keling di Gelgel Keraton dalam keadaan sepi, beliau lalu diterima oleh beberapa pemuka masyarakat yang ada di Keraton.

Dalam keadaan yang lesu, lusuh dan pakaian yang serba kumel dan kotor Brahmana Keling menjawab, bahwa beliau bermaksud menemui saudaranya tidak lain adalah Sang Prabu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha. Karena Sang Prabu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha tidak ada di Keraton maka pemuka masyarakat yang menyapa tersebut mempersilahkan Brahmana Keling menuju Pura Besakih, sebab Sang Prabu dan Dang Hyang Nirartha ada disana sedang sibuk dengan para pengiringnya mempersiapkan pengadaan upacara (wali) Eka Dasa Rudra di Pura Besakih. Selanjutnya Sang Brahmana meneruskan perjalanan menuju Pura Besakih. Sesampainya di pelataran pura, lagi beliau disapa oleh masyarakat para pengayang yang ada, di Pura.

Brahmana Keling menjawab sama, bahwa beliau ingin menemui saudaranya Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha yang katanya sedang ada di Pura. Masyarakat tadi pun belum berani menghadap Dalem karena ia beranggapan bahwa orang yang datang dalam keadaan begini tidak mungkin saudara Sang Prabu maupun Dang Hyang Nirartha, bahkan masyarakat sangat tersinggung dengan pengakuan sang Brahmana ini yang mengaku-ngaku bersaudara dengan Dalem junjungannya seolah-olah derajat Sang Prabu dengan Dang Hyang Nirartha disamakan dengan dirinya yang dalam keadaan compang-camping selayaknya seorang pengemis.

Tetapi Brahmana Keling bersikeras dan karena suatu sebab rakyat tidak dapat menghalanginya, serta tidak ada yang melihat beliau menuju ke dalam. Akhimya mungkin karena saking payahnya beliau dalam perjalanan panjang Brahmana Keling langsung menuju Pelinggih Surya Chandra, di atas sanalah beliau duduk berstirahat sejenak, untuk melepas penatnya.

Tak berselang beberapa lama datanglah Sang Prabu Dalem Waturenggong, begitu beliau menoleh ke atas Pelinggih Surya Chandra alangkah terkejutnya hati beliau serta merta dengan muka yang merah padam. Karena murkanya beliau langsung memanggil prajurit untuk menanyakan siapa gerangan orang itu yang telah berani duduk di atas sana. Prajurit menjawab bahwa orang itu (Brahmana Keling) memang dari tadi dilarang masuk, lebih-lebih ia mengaku sebagai saudara Sang Prabu dan Dang Hyang Nirartha yang sangat ingin bertemu dengan Sang Prabu. Tetapi entah mengapa orang itu tidak disangkanya sudah ada di atas Pelinggih Surya Chandra, rakyat dan prajuritnya serta semua yang ada disana sangat terkejut dan keheranan.

Mendengar apa yang dilaporkan oleh para prajurit dan para pengayah, bertambah murkanya Sang Prabu, seketika itu dengan suara yang bergetar keras memerintahkan para prajurit, pengayah dan rakyat untuk segera menyeret keluar orang yang disangka gila itu. Serta merta prajurit dan masyarakat mengusir Brahmana Keling dengan suara sorak sorai, karena saking mulianya hati Brahmana Keling sebab sama sekali beliau tidak mengadakan perlawanan apa-apa akhirnya beliau mengalah karena perintah keras Sang Prabu yang sudah tidak mengakuinya lagi sebagai saudara.

Sebelum Brahmana Keling meninggalkan Pura Besakih pada saat pengusiran dirinya Beliau lalu mengucapkan Kutuk Pastu yang isinya : "Wastu tats astu karya yang dilaksanakan di Pura Besakih ini tan Sidakarya (tidak sukses), bumi kekeringan, rakyat kegeringan (diserang wabah penyakit), sarwa gumatat-gumitit (binatang-binatang kecil / hama) membuat kehancuran (ngrubeda) di seluruhjagat (bumi) Bali ". Begitu suara Brahmana Keling keluar seperti halilintar menyambar di Siang bolong semua masyarakat menyaksikan dengan menganga, terpaku tak berkutit sedikitpun, lalu Brahmana Keling meninggalkan pura Besakih menuju Barat Daya.

Dalam perjalanan beliau dari Besakih menuju Badanda Negara, semuanya tidak ada yang tabu secara persis seperti perjalanan petualang-petualang lainnya. Menurut perkiraan penulis kemungkinan Brahmana Keling menuju suatu tempat dengan jalan mays (ilmu menghilang), sebab selama perjalanan beliau sampai saat ini belum ada bukti tanda-tanda tempat persinggahan maupun tempat peristirahatan dan dalam jangka waktu yang sangat singkat. Singkat cerita sampailah Brahmana Keling di Badanda Negara yaitu di (Desa Sidakarya sekarang) dan di sini Beliau membuat pesanggrahan pesraman sebagaimana layaknya seorang Brahmin. Arti sesungguhnya Badanda Negara adalah : Badanda=Padanda=Pandan (pahon berduri), Negara=Wilayah. Di pesisir selatan kerajaan Badung banyak ditumbuhi pohon pandan, jeruju dan sejenisnya termasuk pohon bakau. Oleh karena itu daerah pesisir ini lumrah disebut Badanda Negara = Pandan Negara.

Sepeninggal Brahmana Keling dari Pura Besakih tidak berselang beberapa hari suasana sejagat Bali terutama Kraton Gelgel dan sekitarnya mulai menampakkan situasi yang tidak mengenankan. Seperti ucapan Sang Brahmana, semua tanaman pohon pohonan yang berguna bagi pelaksanaan penunjang karya seperti : kelapa, pisang, padi, sayuran dan sebagainya semua layu, buah berguguran, wabah / hama seperti : ulat, tikus dan lain-lain semakin banyak dan ganas menyerang tanaman-tanaman para petani, bumi seketika kering kerontang, wabah penyakit merajalela menyerang penduduk keadaan sangat mengerikan (gerubug) antara pengayah bertengkar tanpa sebab dan semuanya dalam keadaan kacau balau.

Sehingga jadwal pelaksanaan karya urung dilaksanakan, karena sudah tidak memungkinkan untuk diteruskan. Melihat kenyataan seperti ini lalu Dang Hyang Nirartha diperintahkan oleh Ida Dalem melakukan upakara pembasmian dengan melakukan tapa semadi juga tidak mempan dan bahkan semakin menjadi-jadi, semua keadaan serba menyedihkan akhinya Ida Dalem sendirilah yang turun tangan, memerintahkan Dang Hyang Niratha, untuk membuat upakara lanjut mengadakan tapa semadi.

Pada suatu malam Dalem Waturenggong mengadakan semadi di Pura Besakih. Beliau mendapat pewisik petunjuk dari Ida Betara yang bersthana di Pura Besakih, bahwa Beliau telah berdosa mengusir saudaranya sendiri secara hina dan untuk mengembalikan keadaan seperti sedia kala hanya Brahmana Kelinglah yang mampu melakukan hal itu.

Setelah mendapatkan petunjuk (pawisik), esok harinya langsung Ida Dalem memanggil Perdana Mentrinya Arya Kepakisan (Gusti Agung Petandakan) serta memanggil para Patih lainnya seperti Arya Pengalasan, Arya Ularan dan lain-lain termasuk para punggawa untuk mengadakan sidang. Dalam sidang tanpa agenda tersebut memutuskan agar secepatnya menjemput Brahmana Keling yang pernah diusinya. Karena beliaulah yang dapat mengembalikan situasi kekeringan seperti ini serta beliau sekarang ada di Badanda Negara (Pandan-Negara) di pesisir selatan Kadipaten Badung. Pada waktu itu yang menjadi Raja (anglurah) Badung adalah I Gusti Tegeh Kori (Dinasti Tegeh Kori). Namun di sini tidak diketahui secara jelas siapakah senapati yang diutus menjemput Brahmana Keling ?.

Singkat cerita berangkatlah rombongan penjemput Brahmana Keling ke Badanda Negara, pertama-tama menuju Keraton Tegeh Kori di Badung untuk meminta petunjuk lebih lanjut akhirnya menuju Badanda Negara (Pesisir Selatan Kerajaan Badung = Sidakarya sekarang). Sesampainya rombongan di Badanda Negara bertemulah dengan Brahmana Keling lalu rombongan menghaturkan sembah sujud mohon ampun sekaligus menceritakan tentang maksud kedatangannya menghadap Sang Brahmana. Sesuai dengan perintah Ida Dalem memohon agar Ida Brahmana Keling bersedia datang kehadapan Dalem Waturenggong sesegera mungkin. Begitu mendengar cerita dan permohonan utusan Dalem Waturenggong, Ida Brahmana Keling sudah mengerti dan menanggapi semuanya, selanjutnya mempersilahkan kepada utusan rombongan Dalem segera berangkat duluan, Brahmana Keling akan menyusul.

Perjalanan kembali Brahmana Keling ke Puri Gelgel lanjut Basakih tidak ada yang tahu. Beliau sudah ada duluan dengan rombongan penjemputnya di hadapan Dalem Waturenggong di Pura Besakih. Setibanya Brahmana Keling di Pura Besakih barulah beliau disambut selayaknya tamu kebesaran dan diperlakukan dengan sangat sopan hormat dan ramah.

Topeng Sidakarya
Dalam percakapan beliau berdua yang disaksikan juga oleh Dang Hyang Nirartha, pada dasarnya bahwa apabila Brahmana Keling mampu mengembalikan kekeringan, kegeringan, keamanan dan kenyamanan jagat Bali seperti sedia kala maka Dalem Waturenggong berjanji dan bersedia mengakui memang benar Brahmana Keling saudara Dalem Waturenggong. Mendengar sabda Ida Dalem sedemikian Brahmana Keling dengan senang hati menyanggupinya, seketika itu pula tanpa prasarana, sesajen apapun beliau hening sejenak mengucapkan mantra-mantra dan dengan kekuatan batin yang luar biasa terbuktilah:
  1. Ayam hitam dikatakan putih, benar-benar menjadi putih.
  2. Kelapa yang kekeringan, layu tanpa buah seketika berubah menjadi subur, hijau dan dengan buah yang sangat lebat, begitu juga pisang yang kuning dan layu dikatakan hidup kembali dan berbuah ternyata benar.
  3. Hama tikus, walang sangit, wereng, ulat, dan sebagainya yang menyerang tumbuh-tumbuhan dikatakan lenyap, langsung lenyap seketika.
  4. Bumi kering menjadi subur.
  5. Masyarakat rakyat kegeringan seketika menjadi sehat walafiat.

Apa yang diucapkan Brahmana Keling betul¬betul terbukti sehingga Ida Dalem, Danghyang Nirartha serta hadirin semua yang menyaksikan dengan penuh keheranan dan terpesona, karena dihadapannya terjadi hal-hal aneh yang menakjubkan. Akhinya pada saat itu juga Dalem Waturenggong mengakui bahwa Brahmana Keling adalah saudaranya sendiri.

Pelaksanaan karya di Pura Besakih, sehabis situasi tersebut, dapat dikembalikan seperti sediakala dan bahkan keadaannya lebih baik dari hari-hari sebelumnya, sehingga karya dapat dilanjutkan kembali. Karya di Pura Besakih pada saat itu sesungguhnya tingkat karya Eka Dasa Rudra yang dilaksanakan Purnamaning Sasih Kedasa ± tahun Saka 1437 = 1515 Masehi (abad ke-16). Pada pelaksanaan karya Eka Dasa Rudra tersebut sekaligus dipimpin oleh Dang Hyang Nirartha dan Brahmana Keling. Karena sebelumnya Bali (kerajaan Gelgel) pernah mengalami kegeringan, maka pada saat karya Eka Dasa Rudra juga dirangkaikan dengan karya Nangluk Merana. Jadi, pada saat itu dilaksanakan dua rangkaian karya pokok di Pura Besakih dan lumrah disebut "Karya Nangluk Merana".

Berkat jasa Brahmana Keling yang mampu menciptakan kesejahteraan alam lingkungan yang lebih baik dari tahun ke tahun, hasil alam/bumi yang melimpah ruah sebagai sarana prasarana suksesnya pelaksanaan karya, sehingga karya dapat berjalan dengan aman, nyaman dan sukses / berhasil sidakarya sesuai dengan harapan Ida Dalem Waturenggong. Oleh karenanya Brahmana Keling dianugrahi gelar Dalem. Mulai saat inilah Brahmana Keling mabiseka Dalem Sidakarya. Lanjut dibuatkan upacara pediksan sebagaimana mestinya.


Saking gembiranya Ida Dalem karena karya yang dilaksanakan betul-betul berhasil (Sidakarya), selain gelar Dalem yang dianugrahkan, atas nasihat dan anjuran Dang Hyang Nirartha (disamping itu mungkin karena, sabda Hyang Pramawisesa) Dalem Waturenggong di Pura Besakih dihadapan para Menteri / Patih / Para Arya di kiri kanan Dalem Waturenggong duduk Dang Hyang Nirartha dan Dalem Sidakarya, bersabda :
  1. Mulai saat ini dan selanjutnya bagi setiap umat Hindu di seluruh jagat yang melaksanakan karya wajib (wenang) nunas tirta Penyida Karya yang bertempat di Pesraman Dalem Sidakarya, supaya karya menjadi Sidakarya (Pemuput karya), yang terletak di pesisir selatan Jagat Badung (= di Desa Sidakarya sekarang).
  2. Pada setiap upakara wajib disebarkan sarana serba sidakarya seperti : Sayut Sidakarya untuk dibanten (sesajen) dan jejaitan, Tipat Sidakarya untuk boga (makanan / kesejahteraan), Topeng Sidakarya untuk wali (keselarasan).Tujuannya supaya semua penunjang pelaksanaan karya serba sidakarya = berhasil.
  3. Demi sempurnanya pelaksanaan karya wajib mementaskan Wali Topeng Sidakarya. (Tirta Sidakarya sebaiknya diiringi Topeng Sidakarya dari Sidakarya).
  4. Wajib nunas Catur Bija dan Panca Taru Sidakarya. Itulah lebih kurang isi sabda Dalem Waturenggong pada saat itu yang sampai sekarang ini dan seterusnya wajib dipatuhi oleh umat Hindu sejagat.
Catatan
Catur Bija maksudnya adalah :
  1. Beras : sebagai jatu pada makanan / boga (bagi kesejahteraan para pelaksana karya).
  2. Ketan : sebagai jatu pada membuat jaja (jajan) uli barak-uli putih (begina dan lain-lain).
  3. Beras merah : sebagai jatu untuk membuat bubur bebanten untuk serba tumbuh2an.
  4. Injin: sebagai jatu pembuatan tetandingan sarwa banten untuk caru dan lain-lain.
Kesemuanya itu secara umum (Catur Bija) digunakan untuk penginih-nginih karya dan pengingsahan karya, sebagai ajengan catur dalam kegiatan yadnya. Jatu ini sebelum dipergunakan ditaruh di penetegan beras.

Panca Taru bukan dimaksud kayu istimewa melainkan seperti : Cempaka dan Sandat, kedua kayu ini merupakan simbolis jatu untuk wewangunan suci akan tetapi serpihannya (tampalan) Bering dipergunakan sebagai jatu api pasepan.
  1. Naga sari untuk jatu sebagai pelengkap tetandingan bebanten.
  2. Dadap untuk penuntun tirta, berisi benang tukel, andel-andel uang kepeng.
  3. Kelapa (kloping, danyuh, paang, daun kelapa muda/busung) sebagai jatu alat untuk masak - memasak di dapur (pewaregan), pengesengan sekah dan pengesengan penimpugan.
  4. Janur / Busung untuk jatu sarwa jejaitan.

Beberapa kayu sekarang ini sangat langka tetapi apapun yang dapat diterima dari pura itulah dia sebagai jatu panca taru dari Sidakarya.
Sumber
 
Bila anda menyukai artikel ini, klik tombol 'Like'. Dan bila anda ingin membagikan artikel ini di facebook, klik tombol 'Send' atau tombol 'Share'

5 komentar:

  1. Informasinya bagus sob buat nambah pengetahuan tentang sejarah dalem sidakarya. terimakasih banyak sob

    BalasHapus
  2. upacara (wali) Eka Dasa Rudra di Pura Besakih datangnya tiap berapa tahun inggih,,,??

    BalasHapus
  3. Saya warga asli desa sidakarya sangat kagum dan mengagumi cerita ini, atau kisah perjalanan brahmana keling yang sekarang di kenal idha dalem sidekaraya, yang mangkin melingih ring pura mutering jagat dhalem sidakarya.

    BalasHapus
  4. Saya warga asli desa sidakarya sangat kagum dan mengagumi cerita ini, atau kisah perjalanan brahmana keling yang sekarang di kenal idha dalem sidekaraya, yang mangkin melingih ring pura mutering jagat dhalem sidakarya.

    BalasHapus

Jangan lupa berkomentar nggih semeton :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...